Oleh : Achmad Ferdy Firmansyah
Pangkalpinang,WARTAGLOBAL.id - Tok,tok,tok bunyi ketukan palu hasil putusan MK yang mengabulkan permohonan gugatan terkait penentuan waktu pilkada ulang bagi daerah yang dimenangkan oleh *KOTAK KOSONG* paling lambat 27 November 2025 berdasarkan hasil putusan sidang MK dengan perkara no 126/PUU - XXII /2024, di gedung Mahkamah Konstitusi RI pada hari kamis ( 14/11/2024 ).
Secara implisit hasil putusan MK tersebut bahwa kehadiran "Kotak Kosong" bisa di maknai sebuah pilihan rasional dari masyarakat yang merasa kehadiran " Calon Tunggal " tidak cukup representatif untuk diterima, sehingga putusan MK ini bisa sebagai upaya payung hukum yang berkeadilan terhadap kemungkinan " Kotak Kosong" menang.
Payung hukum terkait pilkada ulang yang diputuskan MK sangat jelas mendeskripsikan bahwa Kotak Kosong bukanlah sebuah pilihan yang merugikan atau akan banyak menimbulkan dampak negatif terhadap keberlangsungan tata pemerintahan di daerah apalagi menang nya Kotak Kosong di anggap sebuah pemborosan terhadap uang negara karena sebelum di putuskan kajian dampak di sektor ekonomi dan keuangan pun sudah dipertimbangkan secara komprehensif , sebaliknya jika kotak kosong menang dan akan berdampak pada kerugian ekonomi dan pemborosan uang negara maka tidak menutup kemungkinan MK akan tidak mengabulkan permohonan gugatan perkara tersebut.
Jadi, Pilihan Kotak Kosong menurut MK merupakan Hak Konstitusional warga negara , dan kehadiran bahkan kemenangan nya pun dalam proses Demokrasi diatur melalui keputusan hukum yang mengikat dan final.
Banyaknya narasi yang menyesatkan masyarakat bahwa kemenangan Kotak Kosong akan merugikan suatu daerah karena kehadiran Pj Kepala Daerah akan diperpanjang dan tidak begitu produktif dalam menjalankan roda pemerintahan yang efektif dan efisien, sedangkan Kepala Daerah definitif dipastikan akan efektif dan efisien menjalankan tupoksi dan kewenangannya.
Harus kita ketahui bersama bahwa status tupoksi dan kewenangan Pj Kepala Daerah dan Kepala Daerah definitif itu pada prinsipnya tidaklah berbeda hanya perbedaan nya terletak pada proses kehadirannya yang mana Kepala Daerah definitif itu dari rahim kontestasi pilkada sedangkan Pj Kepala Daerah itu bukan dari hasil Pilkada.
Efek dari digelarnya pilkada serentak 2024 mengakibatkan terjadinya kekosongan jabatan eksekutif tertinggi di suatu daerah sehingga di isi oleh Penjabat ( Pj ) kepala daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku , dan jangan tafsirkan bahwa Pj Kepala Daerah itu di konotasikan jabatan yang tidak demokratis.
Bicara konteks Negara Demokrasi tidak hanya sebatas pemilu termasuk pilkada, namun implementasi peraturan perundang-undangan yang menyentuh kepentingan masyarakat juga bagian dari sistem demokrasi karena produk peraturan perundang-undangan di hasilkan oleh kekuasaan eksekutif dan legislatif dari proses hasil Pemilu / Pilpres.
Hampir seluruh daerah dalam kurun 2 tahun terakhir ini di pimpin oleh Pj Kepala Daerah dan menariknya desas desus atau dugaan tindak pidana korupsi dari sekian banyak Pj Kepala Daerah yang ada saat ini hampir tidak terdengar, namun sangat kontras ketika daerah ditingkat Provinsi atau Kabupaten /kota di pegang oleh Kepala daerah Definitif banyak terindikasi kasus tindak pidana korupsi dan prilaku " Abuse of Power" , Hal ini mungkin saja karena faktor tingginya biaya politik yang dikeluarkan oleh para calon kepala daerah saat menjadi kontestan pilkada sehingga tergiur bahkan mengemis bantuan pendanaan dari para pemilik modal ( Bohir ) yang berakibat pada hilangnya integritas dalam menentukan keputusan atau kebijakan untuk kepentingan masyarakat dan cenderung koruptif karena jeratan atau pengaruh para bohir.
Munculnya Calon Tunggal dalam pilkada serentak tidak terlepas dari dominasi kekuatan politik transaksional yang di miliki Paslon Tunggal untuk memperoleh usungan dan dukungan partai politik ,hal ini berpotensi hegemoni Paslon Tunggal jika terpilih akan lebih mementingkan keinginan oligarki ; elit parpol dan para bohir bukan kepentingan masyarakat luas maka dari itu tidak sedikit kepala daerah yang menjadi tersangka dan terbukti melakukan tindak pidana korupsi saat menjabat atau sesudah menjabat.
AR
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment